Apakah kedua peran yang kita lakukan sudah seimbang? Apa
jangan-jangan, karena kita
melakukan keduanya, lantas suami atau anggota keluarga mengatakan bahwa kita kurang pintar memilih prioritas? Semoga hal itu tidak terjadi ya.
melakukan keduanya, lantas suami atau anggota keluarga mengatakan bahwa kita kurang pintar memilih prioritas? Semoga hal itu tidak terjadi ya.
Saya memiliki beberapa cara agar peran domestik dan
publik kita bisa seimbang.
1. Membuat list “peran”
Peran di sini maksudnya, apa-apa
saja yang harus anda lakukan di rumah, dan juga di luar rumah. Misalkan untuk
di rumah:
-
Memasak
-
Mencuci dan menyeterika
-
Membereskan rumah (menyapu,
mengepel, merapikan barang-barang)
-
Mendampingi anak mengaji,
menghafal Qur’an, dan belajar mapel
-
Membuat rencana belanja
bulanan
Dll, disesuaikan dengan diri
anda. Catatan ini akan membuat kita tahu, seberapa banyak peran yang harus kita
mainkan di rumah.
Misalkan untuk di luar rumah:
-
Mengajar setiap hari
-
Mengisi kelas tahsin
ibu-ibu
-
Mengikuti kegiatan PKK
-
Mengelola arisan RT
Dll, disesuaikan dengan peran
anda di luar rumah.
2. Miliki jadwal pekanan
Hmm, setelah kita buat list
peran, aturlah jadwal. Kapan kita akan mengerjakan pekerjaan kita di rumah,
setiap hari apa, jam berapa, dan butuh berapa lama. Termasuk peran publik juga
sama. Kapan harus mengisi kelas tahsin ibu-ibu, kapan harus mengocok arisan RT,
dan lain-lain, semua harus terencana. Ini akan membantu kita dalam memanaj
waktu. Tidak asal mengalir alias asal jalan saja.
Jika kita tak punya waktu untuk
membuat jadwal itu untuk sepekann, minimal malam hari itu kita sudah membuat
jadwal untuk esok hari. Misalkan sekarang hari Kamis, maka malam nanti kita
pikirkan apa saja yang akan dilakukan pada esok, Jum’at.
3. Diskusikan dan sampaikan pada suami
Nah, bunda solihah. Jika poin
satu dan dua sudah dilakukan, diskusikan hal tersebut dengan pasangan kita.
Jangan bunda pendam dan rahasiakan ya. Mengapa?
Pertama nih, tentang tugas
kita di rumah yang seabrek itu. Misal bunda diskusikan, bisa jadi suami akan
memberikan uluran tangannya. Beliau akan menawarkan mana-mana yang bisa
dikerjakan beliau. Mungkin bagian menyeterika atau sekadar menjemur pakaian,
menjadi tugas ayah secara sukarela J
Kedua, tentang tugas kita di
luar rumah, suami akan tahu betapa berharganya diri kita di rumah dan di
masyarakat. Kita memiliki peran penting yang membutuhkan support nya. Coba
bunda bayangkan, lebih suka suami mendukung atau tak mau tahu dengan peran
kita? Hmm, tentu kita ingin pasangan kita mendukung apa yang kita lakukan.
4. Miliki “atasan” di luar rumah
Ibaratnya, suami adalah atasan
kita di rumah. Dia tahu peran domestik kita, dan paham juga apa yang menjadi
peran kita di luar. Kita mendapatkan hak untuk dinafkahi, dan kita juga punya
kewajiban untuk melayaninya.
Nah, adakanlah atasan di luar
rumah untuk diri anda sendiri. Fungsinya? Agar orang tersebut mampu melihat
seberapa sibuk kita dengan amanah-amanah di luar rumah. Dia bisa memberikan
solusi jika sewaktu-waktu terjadi permasalahan yang tak bisa kita selesaikan sendiri.
Karena seringkali, kita harus mengakui, ada hal-hal tertentu yang tak bisa kita
sampaikan kepada pasangan kita, sehingga kita membutuhkan “orang terpercaya” di
luar rumah.
Kriterianya: sesama muslimah
(bukan laki-laki), memiliki pemahaman islam yang baik, dan amanah (mampu
menjaga rahasia kita).
5. Niatkan semua sebagai ibadah, ikhlas karena Allah
Allah tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan untuk menyembah (beribadah) kepada Nya. Terjemahan di
surat Adz Dzariyat ayat 56 itu memberikan gambaran, bahwa peran yang dijalankan
kita, musti kita niatkan untuk ibadah.
Kita mengajar, dalam rangka
beribadah. Kita membimbing anak mengajari baca Qur’an, dalam rangka ibadah.
Mengisi majlis taklim, aktif di masayarakat umum, niatkanlah untuk ibadah.
Mintalah kepada Allah untuk
meridhoi apa yang kita lakukan, apa yang kita perjuangkan sebagai bentuk amal
solih kita. Jangan sampai yang kita lakukan itu tiada memiliki benih keikhlasan
sehingga mengharap pujian dan penghargaan dari orang lain.